- Fungsi Agama dalam Masyarakat
Agama adalah suatu kepercayaan atau keyakinan
seseorang terhadap tuhan nya. Agama mempunyai fungsi bagi kehidupan manusia. Agama sebagai pedoman hidup
manusia untuk membawa mereka kejalan yang benar.
Fungsi Agama menurut Prof.Dr.H. Jalaluddin yaitu:
1. Fungsi Edukatif, agama memberi pengajaran dan
bimbingan kepada kita tentang sejarah agama.
2. Fungsi Penyelamat, kita sebagai manusia ingin
hidup bahagia di dunia dan diakhirat. Pasti semua orang ingin menikmati Surga
apabila ia telah tiada didunia, jadi agama memberi kita pedoman agar kita
melakukan perbuatan yang terpuji yang membuat hidup kita selamat di dunia dan
di akhirat.
3. Fungsi Perdamaian, setiap manusia yang memiliki
kesalahan yang sangat besar, dengan bertobat dosa nya bisa diampuni.
4. Fungsi Kontrol Sosial, adanya sikap sosial
terhadap sesama seperti saling tolong menolong, adanya sikap tenggang rasa karena
agama mencintai perdamaian.
5. Fungsi Menanam Persaudaraan, karena manusia tidak
bisa hidup sendiri dan hidup yang saling tolong menolong dan akan membangun
hubungan persaudaraan.
6. Fungsi Pembaharuan, karena agama dapat membawa kita ke
arah yang lebih baik.
- Dimensi Komitmen Agama
Berikut adalah lima dimensi keberagamaan Glock & Stark (Ancok
dan Suroso, 1995), di antaranya sebagai berikut :
1. Dimensi keyakinan (ideologis). Dimensi ini
berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada
pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
2. Dimensi praktik agama (ritualistik). Dimensi ini
mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
3. Dimensi pengalaman (experensial). Dimensi ini
berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi,
dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau diidentifikasikan oleh suatu
kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun
kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan.
4. Dimensi pengamalan (Konsekuensi). Dimensi ini
berkaitan dengan sejauh mana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agamanya
di dalam kehidupan sosial.
5. Dimensi pengetahuan agama (intelektual). Dimensi
ini berkaitan dengan sejauh mana individu mengetahui, memahami tentang
ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci dan sumber lainnya.
Pelembagaan Agama
- Kaitan Agama dengan masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secra utuh
(Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai
sakral.
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.
- Pelembagaan Agama
Pelembagaan
agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi
suatu kaum yang menganut agama.
Salah
satu lembaga agama di indonesia adalah MUI.
MUI berdiri
sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama
yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh
enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,NU, Muhammadiyah, Syarikat
Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang
ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut
dan POLRI serta
13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh
peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama Indonesia.
Momentum
berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah
banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima
tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk :
a. memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan
beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
b. memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta;
c. menjadi
penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik
antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
d. meningkatkan
hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya
umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
MUI Sebagai
organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan
muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia
adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang
memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat
ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan
terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan
pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam
kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam,
Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi
organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan
tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili
kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat
kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim
dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian
Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan
dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing
serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa
organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan
menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan
bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap
Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi Seluruh Alam.
Agama, Konflik, dan Masyarakat
Faktor penyebab konflik dalam masyarakat:
1. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Konflik sebagai kategori sosiologi bertolak
belakang dengan pengertian perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses assosiatif,
sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif. Proses assosiatif
adalah proses yang mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau memecah.
Fokus kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang
berkisar pada agama. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua
pihak (golongan) yang berbeda agama bukannya sebagai konstruksi
khayal (konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi
pada zaman sekarang juga. Misalnya; bentrokan antara umat Kristen Gereja
Purba, benturan umat Kristen dengan penganut agama Romawi (agama kekaisaran) dalam
abad pertama sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan sekarang ini
kita hanya ingin mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja, yaitu
perbedaan iman.
2. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama
bukan menjadi penghalang untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun hal itu
sudah terbukti oleh kenyataan yang menggembirakan dan hal itu tidak perlu
dibicarakan lagi. Yang menjadi masalah disini ialah, apakah perbedaan suku dan
ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar
umat manusia. Khususnya apakah dalam satu Negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan yang menerima adanya agama yang berbeda-beda bukannya membina dan memperkuat unsur penyebab yang lebih kuat untuk menimbulkan
perpecahan bangsa dan Negara itu. Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari
agama sudah membuktikan bertambahnya permusuhan dan pencarian jalan keluarnya, dan kesemuannya itu menjadi bahan menarik dalam diskusi ilmiah
maupun dalam kalangan kaum politisi, adalah merupakan masalah yang tetap aktual
yang tidak dijadikan sasaran dari pembicaraan kita sekarang ini.
3. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Fenomena agama sebagai bagian dari budaya bangsa
manusia. Kenyataan membuktikan bahwa tingkat kemajuan budaya berbagai bangsa
didunia ini tidak sama. Demi mudahnya pendekatan kita bedakan saja dua tingkat
kebudayaan,yaitu kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah, meskipun pembagian
dikhotomis dan simplistik ini menenggelamkan nuansa kekayaan kultural yang
memang ada diantara ujung yang tinggi dan rendah. Tolak ukur untuk menilai
dan membedakan kebudayaan dalam dua kategori itu berupa asumsi yang sudah umum,
pertama akumulasi ilmu pengetahuan positif dan teknologis disatu pihak dan hasil
pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan motor
penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan.
Daftar Pustaka
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130406055708AAxDpZD
http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/dimensi-religiusitas.html
https://tarmujimuji.wordpress.com/2012/01/10/masyarakat-agama/
http://nurulhumaira44.blogspot.com/2011/01/pelembagaan-agama.html
http://www.academia.edu/7500730/Konflik_beragama
Daftar Pustaka
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130406055708AAxDpZD
http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/dimensi-religiusitas.html
https://tarmujimuji.wordpress.com/2012/01/10/masyarakat-agama/
http://nurulhumaira44.blogspot.com/2011/01/pelembagaan-agama.html
http://www.academia.edu/7500730/Konflik_beragama