Minggu, 25 Januari 2015

AGAMA DAN MASYARAKAT

Fungsi Agama


  • Fungsi Agama dalam Masyarakat

Agama adalah suatu kepercayaan atau keyakinan seseorang terhadap tuhan nya. Agama mempunyai fungsi bagi kehidupan manusia. Agama sebagai pedoman hidup manusia untuk membawa mereka kejalan yang benar.
Fungsi Agama menurut Prof.Dr.H. Jalaluddin yaitu: 
1. Fungsi Edukatif, agama memberi pengajaran dan bimbingan kepada kita tentang sejarah agama. 
2. Fungsi Penyelamat, kita sebagai manusia ingin hidup bahagia di dunia dan diakhirat. Pasti semua orang ingin menikmati Surga apabila ia telah tiada didunia, jadi agama memberi kita pedoman agar kita melakukan perbuatan yang terpuji yang membuat hidup kita selamat di dunia dan di akhirat.
3. Fungsi Perdamaian, setiap manusia yang memiliki kesalahan yang sangat besar, dengan bertobat dosa nya bisa diampuni.
4. Fungsi Kontrol Sosial, adanya sikap sosial terhadap sesama seperti saling tolong menolong, adanya sikap tenggang rasa karena agama mencintai perdamaian.
5. Fungsi Menanam Persaudaraan, karena manusia tidak bisa hidup sendiri dan hidup yang saling tolong menolong dan akan membangun hubungan persaudaraan.
6. Fungsi Pembaharuan, karena agama dapat membawa kita ke arah yang lebih baik.

  • Dimensi Komitmen Agama
Berikut adalah lima dimensi keberagamaan Glock & Stark (Ancok dan Suroso, 1995), di antaranya sebagai berikut :
1. Dimensi keyakinan (ideologis). Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
2. Dimensi praktik agama (ritualistik). Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
3. Dimensi pengalaman (experensial). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau diidentifikasikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan.
4. Dimensi pengamalan (Konsekuensi). Dimensi ini berkaitan dengan sejauh mana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.
5. Dimensi pengetahuan agama (intelektual). Dimensi ini berkaitan dengan sejauh mana individu mengetahui, memahami tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci dan sumber lainnya.



Pelembagaan Agama


  • Kaitan Agama dengan masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secra utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.


  • Pelembagaan Agama
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.
Salah satu lembaga agama di indonesia adalah MUI.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama Indonesia.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk :
a.  memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
b.  memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
c.  menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
d.  meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

MUI Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi Seluruh Alam.


Agama, Konflik, dan Masyarakat

Faktor penyebab konflik dalam masyarakat:

1. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental 
Konflik sebagai kategori sosiologi bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses assosiatif, sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif. Proses assosiatif adalah proses yang mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau memecah. Fokus kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang berkisar pada agama. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama bukannya sebagai konstruksi khayal (konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi pada zaman sekarang juga. Misalnya; bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba, benturan umat Kristen dengan penganut agama Romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan sekarang ini kita hanya ingin mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja, yaitu perbedaan iman.

2.  Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun hal itu sudah terbukti oleh kenyataan yang menggembirakan dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang menjadi masalah disini ialah, apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar umat manusia. Khususnya apakah dalam satu Negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan yang menerima adanya agama yang berbeda-beda bukannya membina dan memperkuat unsur penyebab yang lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan bangsa dan Negara itu. Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya permusuhan dan pencarian jalan keluarnya, dan kesemuannya itu menjadi bahan menarik dalam diskusi ilmiah maupun dalam kalangan kaum politisi, adalah merupakan masalah yang tetap aktual yang tidak dijadikan sasaran dari pembicaraan kita sekarang ini.

3.  Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Fenomena agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan bahwa tingkat kemajuan budaya berbagai bangsa didunia ini tidak sama. Demi mudahnya pendekatan kita bedakan saja dua tingkat kebudayaan,yaitu kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah, meskipun pembagian dikhotomis dan simplistik ini menenggelamkan nuansa kekayaan kultural yang memang ada diantara ujung yang tinggi dan rendah. Tolak ukur untuk menilai dan membedakan kebudayaan dalam dua kategori itu berupa asumsi yang sudah umum, pertama akumulasi ilmu pengetahuan positif dan teknologis disatu pihak dan hasil pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan.




Daftar Pustaka


https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130406055708AAxDpZD
http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/dimensi-religiusitas.html
https://tarmujimuji.wordpress.com/2012/01/10/masyarakat-agama/
http://nurulhumaira44.blogspot.com/2011/01/pelembagaan-agama.html
http://www.academia.edu/7500730/Konflik_beragama