Bersifat tidak menilai, tidak menafsirkan, atau semata-mata membantu orang melihat apa yang sesungguhnya ada. Kritik ini berusaha mencirikan fakta-fakta yang menyangkut sesuatu lingkungan tertentu. Dibanding metode kritik lain kritik deskriptif tampak lebih nyata (factual).
• Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang terhadap bangunan atau kota.
• Lebih bertujuan pada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan.
• Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai unsur bentuk yang ditampilkannya.
• Tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.
Depictive Criticism (Gambaran Bangunan)
Depiktif cenderung tidak dipandang sebagai sebuah bentuk kritik karena ia tidak didasarkan pada pernyataan baik atau buruk sebuah bangunan. Sebagaimana tradisi dalam kritik kesenian yang lain, metode ini menyatakan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi disana. Dengan melalui perhatian yang jeli terhadap aspek tertentu bangunan dan menceritakan apa yang telah dilihat, kritik depiktif telah menjadi satu metode penting untuk membangkitkan satu catatan pengalaman baru seseorang.
Istana Tampak Siring
(sumber : https://www.pegipegi.com/)
Bangunan : Istana Tampak Siring
Tahun : 1957
Dibangun : 1963
Sejarah Singkat
Nama Tampak Siring berasal dari dua buah kata dalam bahasa Bali, yaitu tampak dan siring yang berarti: “telapak” dan “miring”. Penamaan tersebut berkaitan erat dengan legenda masyarakat setempat tentang Raja Mayadenawa. Raja ini dikenal pandai dan sakti mandraguna. Namun, karena kelancangannya mengangkat diri sebagai dewa yang harus disembah oleh rakyatnya, maka Betara Indra mengutus bala tentara untuk menyerang Raja Mayadenawa. Serangan ini membuat Mayadenawa melarikan diri ke dalam hutan. Untuk menyamarkan jejaknya, Mayadenawa sengaja berjalan dengan cara memiringkan telapak kakinya.
Namun sayang, usaha Mayadenawa untuk mengelabui bala tentara Betara Indra gagal, jejaknya akhirnya diketahui. Dengan sisa-sisa kesaktiannya, Raja Mayadenawa mencoba melawan dengan menciptakan mata air beracun yang dapat membunuh para pengejarnya. Untuk menanggulangi akibat buruk dari mata air beracun itu, Betara Indra menciptakan sumber mata air penawarnya, yaitu Tirta Empul (air suci). Wilayah pelarian Raja Mayadenawa itulah yang kini dikenal sebagai Tampak Siring.
Istana tampak siring
(Sumber : https://galeriwisata.files.wordpress.com)
Dibangun pertama kalinya pada tahun 1957, istana Tampaksiring ada di jalan Astina Pura Utara, Desa Tampaksiring, Gianyar. Didesain oleh arsitek bernama R.M Soedarsono, istana ini terletak di atas bukit, sekitar 700 meter di atas permukaan air laut. Bangunan terdiri dari dua gedung utama, Wisma Merdeka sebagai tempat presiden dan keluarganya dan Wisma Yudhistira yang menjadi tempat menginap tamu kehormatan presiden.
Selanjutnya di tahun 1963 kembali dibangun Wisma Negara yang menjadi tempat untuk menjamu tamu kehormatan dan Wisma Bima tempat beristirahat para pengawal presiden. Nah, Wisma Negara dan Wisma Merdeka dihubungkan oleh jembatan yang dinamakan jembatan persahabatan. Kedua bangunan ini juga kental dengan ornamen serta arsitektur khas Bali, baik pada ukiran kayu maupun elemen arsitektur lain.
Istana tampak siring
(Sumber : https://media-cdn.tripadvisor.com)
Rancangan bangunan Istana Tampaksiring juga sangat fungsional, menonjolkan kesederhanaan dan fungsinya sebagai wisma peristirahatan. Batu-batu alam dan batubata halus khas Bali sengaja ditonjolkan untuk menciptakan corak kedaerahan. Ukiran batu paras dan tiang-tiang kayu gaya Bali terasa padu dalam konsep arsitekturnya, bukan sebagai elemen tambahan yang ditempelkan.
Istana tampak siring
(Sumber : https://www.vebma.com)
Konstruksi beton digunakan untuk menerjemahkan rancang-bangun yang menuntut bentangan-bentangan lebar. Semua bahan kayu jati serta bahan-bahan bangunan lainnya, kecuali pasir dan batubata, didatangkan dari Jawa. Adapun elemen artistiknya, ukiran kayu dan batu, dikerjakan oleh para seniman Bali.
Paduan warna oranye muda, versi lembut dari warna natural batubata, dan abu-abu yang dipilih juga merupakan elemen kesamaan yang seakan tidak lekang dimakan zaman.Salah satu ciri arsitektur dari bangunan-bangunan Istana karya R.M. Soedarsono ini adalah penggunaan pipa-pipa sebagai susuran di beberapa teras. Sekilas tampak seperti susuran kapal, namun sebetulnya pipa-pipa itu juga berfungsi sebagai saluran air.
Istana tampak siring
(Sumber : http://www.klikhotel.com)
Wisma Merdeka dan Wisma Negara merupakan dua bangunan di kompleks Istana Tampaksiring yang paling banyak menampilkan ciri arsitektur Bali. Beberapa bagian kedua wisma itu memakai dinding teterawangan, yaitu tembok dengan ukiran timbul dan berlubang khas Bali. Juga banyak dijumpai elemen arsitektur dari ukiran kayu yang dicat dengan nuansa warna biru dan emas.
Sedangkan atapnya terbuat dari sirip dengan pasangan biasa seperti pada perumahan kota. Wisma Merdeka memiliki pintu ukir khas Bali. Berdinding pigura hias bunga kayu khas Bali sepanjang dinding, dengan dominasi warna kuning emas yang megah. Sementara semua patung dan lukisan Bali di Wisma Negara adalah patung dan lukisan yang terpilih.
SUMBER :
http://qotadahamran.blogspot.co.id/2016/09/kritik-arsitektur-kritik-deskriptif.html
https://kerajinanbatualam.wordpress.com/arsitektur-khas-bali-istana-tampaksiring/
https://www.pegipegi.com/travel/mengintip-keindahan-istana-tampak-siring-di-bali/
https://www.baliterkini.com/read/8/index-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar